Pada
mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya
terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan
Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan
istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang
popular.
Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama
Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000
Ha.
Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke
Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei
Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang
Saling/Sei Kera.
Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari
Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan
Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak
mencakup daerah diantara kedua sungai tersebut.
Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli
terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam,
tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van
Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910
bahwa disamping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah
liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda
ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau
Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah
satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei.
Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan
dua macam yakni : Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama
terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima
Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan
di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4
mm/jam.
Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih
merupakan hutan rimba dan disana sini terutama dimuara-muara sungai
diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan
semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka
kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak
itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat
pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.
2. Kampung Medan dan Tembakau Deli
Pada awal perkembangannya merupakan sebuah
kampung kecil bernama "Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri"
tidak terlepas dari posisinya yang strategis karena terletak di
pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri
Hijau sekarang.
Kedua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur
lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian
Kampung "Medan Putri" yang merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat
berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.
Semakin
lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan isteri Guru Patimpus
yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama seorang
laki-laki dan dinamai si Kolok. Mata pencarian orang di Kampung Medan
yang mereka namai dengan si Sepuluh dua Kuta adalah bertani menanam lada.
Tidak lama kemudian lahirlah anak kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik.
Pada zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong
orang yang berfikiran maju. Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya
berguru (menuntut ilmu) membaca Alqur’an kepada Datuk Kota Bangun dan
kemudian memperdalam tentang agama Islam ke Aceh.
Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung
Medan ini adalah keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku
Deli In Woord en Beeld ditulis oleh N.Ten Cate. Keterangan tersebut
mengatakan bahwa dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan
sisanya masih ada terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran
yang terdapat dipertemuan antara dua sungai yakni Sungai Deli dan
sungai Babura. Rumah Administrateur terletak diseberang sungai dari
kampung Medan. Kalau kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini
adalah di Wisma Benteng sekarang dan rumah Administrateur tersebut
adalah kantor PTP IX Tembakau Deli yang sekarang ini.
Sekitar tahun 1612 setelah dua dasa warsa
berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Aceh
mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana
Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah
Deli.
Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai
Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan
memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil
memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei
Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan
kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota
Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.
Dengan tampilnya Gocah pahlawan mulailah
berkembang Kerajaan Deli dan tahun 1632 Gocah Pahlawan kawin dengan
putri Datuk Sunggal. Setelah terjadi perkawinan ini raja-raja di
Kampung Medan menyerah pada Gocah Pahlawan.
Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan
digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima Perunggit, yang kemudian
memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada
tahun 1669, dengan ibukotanya di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.
Jhon Anderson seorang Inggris melakukan
kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823 dan mencatat dalam bukunya
Mission to the East Coast of Sumatera bahwa penduduk Kampung Medan pada
waktu itu masih berjumlah 200 orang tapi dia hanya melihat penduduk
yang berdiam dipertemuan antara dua sungai tersebut. Anderson
menyebutkan dalam bukunya “Mission to the East Coast of Sumatera“
(terbitan Edinburg 1826) bahwa sepanjang sungai Deli hingga ke dinding
tembok mesjid Kampung Medan di bangun dengan batu-batu granit berbentuk
bujur sangkar. Batu-batu ini diambil dari sebuah Candi Hindu Kuno di
Jawa.
Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri",
juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal
dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk
pembungkus cerutu.
Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada
Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz &
Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun
di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau deli. Maret 1864,
contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji
kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan
berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.
Kemudian di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen,
Cremer dan Nienhuys mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian
melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869),
Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22
perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan
tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan
kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung "Medan Putri".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar